Semarang sebagai salah satu kota besar di Indonesia tidak bisa lepas dari dinamika kebudayaan seperti di kota-kota lain. Mulai dari budaya tradisional, budaya massa, hingga budaya arus pinggir turut hidup di kota ini. Budaya arus pinggir ini menjadi semacam subkultur atau budaya tanding yang biasanya dihidupi oleh anak-anak muda.
Salah satu subkultur tersebut adalah munculnya zine atau fanzine. Zine sendiri sebenarnya agak susah dijelaskan deskripsinya. Menurut Oxford English Dictionary zine adalah bentuk pendek dari lema fanzine. Media ini pertama muncul dari kelompok pencinta cerita fiksi ilmiah di Amerika Serikat tahun 1930-an. Zine juga berperan besar dalam berbagai macam publikasi bawah tanah yang fokus pada isu sosial dan politik di tahun 1960-an. Zine kemudian semakin berkembang ketika skena hardcore/punk mulai menjadikannya sebagai media komunikasi antarkomunitas.
Zine sendiri biasanya dibuat dengan memanfaatkan teks dan visual dan digandakan dengan mesin fotokopi. Profit atau keuntungan bukanlah menjadi tujuan utama penerbitan zine. Berbagai jenis zine pun fokus pada tema yang khusus, seperti seni dan fotografi, sastra, sosial politik, musik, perzines (personal zines), perjalanan, kesehatan, makanan, dan lain sebagainya (University of Texas Libraries, 2020). Berbagai macam tema tersebut tentu saja dibuat dengan semangat DIY (Do it Yourself) dan melawan arus budaya utama[1].
Di Semarang sendiri mulai akhir 1990-an mulai muncul berbagai macam terbitan alternatif. Sebagian besar dibuat oleh penggerak skena musik, terutama punk dan underground. Ada pula yang dari skena sastra dan seni pertunjukan dengan berbagai macam variasinya. Pameran arsip zine pertama di Indonesia pun diadakan di kota ini, yaitu pada tahun 2009 yang diselenggarakan oleh Komunitas Hysteria.
Dari data di atas bisa disimpulkan bahwa Semarang mempunyai posisi yang sangat penting bagi kegiatan subkultur di Indonesia, terutama zine. Zine menjadi sebuah media alternatif bagi para pembuat dan penikmatnya sebagai wahana penyebaran ide, informasi, hingga gerakan sosial dan literasi.
Salah satu zine yang sempat hidup di Kota Semarang adalah Tanda Batja. Tanda Batja mendaku sebagai sebuah “media komunitas seni”. Beredar dari tahun 2003-2005. Dalam praktiknya setiap edisinya 80% berisi tulisan dengan tema seni pertunjukan, terutama teater. Mulai dari laporan pertunjukan, wawancara pelaku teater, isu dan debat seni pertunjukan, hingga trivia seni pertunjukan di Kota Semarang.
Berawal dari Komunitas (2003)
Pada tahun 2000-an, di Semarang muncul banyak zine dan zinemaker yang menekuni jalur penerbitan alternatif. Salah satunya adalah Kolektif Hysteria. Sebelum terjun ke isu-isu kota, kampung-kota, dan seni kontemporer, Hysteria awalnya adalah zine sastra dan kelompok pegiat sastra. Akhmad ‘Adin’ Khairudin, Direktur Kolektif Hysteria, menyatakan bahwa zine Hysteria muncul ketika zine sudah cukup lama ada di Semarang. Zine ini kali pertama muncul tahun 2004 sebagai zine sastra mahasiswa Sastra Universitas Diponegoro. Ketika itu sudah banyak zine lain yang beredar dengan beraneka tema, mulai dari seni rupa, musik, dan hardcore-punk. Zine ini awalnya muncul sebagai wadah anak-anak sastra berkreasi di dunia tulis-menulis[2].
Awalnya ketika zine Hysteria terbit, para zinester-nya tidak memakai istilah zine. Hal ini menurut pengakuan Adin karena saat itu mereka belum bersinggungan dengan kultur musik yang memakai istilah zine untuk produk terbitan alternatifnya. Ketika konsentrasi budaya Hysteria akhirnya mulai melebar tidak hanya sebatas sastra dan mulai merambah musik, film, seni rupa, dan seni pertunjukan, sejak 2007 akhirnya mereka secara resmi memakai istilah zine untuk sebutan terbitan alternatifnya. Isi dari zine Hysteria adalah berbagai macam tulisan sastra, mulai dari cerpen, puisi, hingga esai budaya yang ditulis oleh para kontributor. Selain itu ada laporan berbagai macam acara seni dan budaya, baik yang diselenggarakan oleh Hysteria maupun oleh komunitas lain.
Hal yang sama terjadi pada Komunitas Seni Tanda Batja. Komunitas ini awalnya dibentuk oleh Kelompok Belajar Apresiasi Semarang pada tahun 2003. Sebagian besar anggotanya adalah pelaku seni pertunjukan. Gagasan awalnya adalah sebagi media komunikasi seni dan media belajar menulis perihal seni, mulai dari seni pertunjukan, seni rupa, seni musik, dan lain sebagainya. Adalah seorang wartawan Harian Suara Merdeka yang bernama Ganug Nugroho Adi yang mempunyai ide untuk membuat semacam media alternatif tersebut. Ganug resah terhadap kondisi saat itu, di mana beberapa pertunjukan seni atau acara-acara kesenian sepi dari kritik. Zine atau media alternatif tersebut diharapkan bisa memfasilitasi kritik seni sekaligus media belajar menulis[3].
Meskipun terbitan alternatif, Tanda Batja memberlakukan standar jurnalistik yang cukup tinggi di setiap edisinya. Di setiap terbitannya selalu mengangkat tema atau isu utama. Selain itu ada wawancara dengan pelaku seni pertunjukan dan liputan pentas yang ada di Kota Semarang. Tanda Batja sendiri bertahan selama dua tahun hingga edisi terakhirnya yang terbit pada tahun 2005.
Dua edisi awal Tanda Batja dicetak dalam satu lembar kertas ukuran A2 dan dibagi menjadi 8 halaman seukuran kertas A4. Pada edisi pertama ada 1 editorial, 1 salam redaksi, 1 opini, 1 resensi buku, 1 resensi film, 2 profil pelaku seni pertunjukan, 4 tulisan perihal isu teater dan resensi pertunjukan, 1 puisi, 1 resensi pameran seni rupa, dan 1 resensi konser musik. Komposisi yang sama diulang pada edisi kedua dengan beberapa perubahan. Rubrik puisi hilang dan diganti dengan satu tulisan perihal dramaturgi teater.
Pada medio 2003, Tanda Batja hanya terbit dua edisi. Edisi pertama bertarikh Januari-Februari 2003, sedangkan edisi kedua bertarikh Februari-Maret 2003. Sampai akhir tahun 2003 Tanda Batja tidak menerbitkan lagi edisinya. Baru terbit lagi tahun selanjutnya dengan perubahan format, baik secara bentuk cetakan maupun penggunaan isu atau tema dalam setiap edisinya.
Tidak Ingin “Sekarat” (2004)
Jeda dari edisi terakhir (Maret 2003) hingga terbitan di tahun selanjutnya sangatlah lama. Meskipun demikian, jeda tersebut secara maksimal betul-betul dimanfaatkan oleh Tanda Batja untuk berubah. Pada terbitan tahun 2004, Tanda Batja tidak memakai nomor untuk tiap terbitannya. Tidak ada penjelasan kenapa langkah tersebut diambil. Salah satu asumsi yang mengemuka adalah agar tidak ada beban untuk konsisten terbit. Di sisi lain, tiadanya penomoran edisi memberikan hasil yang menarik dengan menamai tiap edisinya dengan tema tertentu.
Edisi pertama pada tahun 2004 bertajuk “Sekarat”. “Sekarat” mengangkat tentang iklim berkesenian di Semarang yang terkesan “hidup segan, mati tak mau”. Ada pula pemeo “Semarang bukan Kota Budaya, tapi Kota Industri” yang sedikit banyak diamini para pelaku seninya. Dalam tulisan utamanya ada kutipan dari Ipong Wiryanto, Ketua Dewan Kesenian Semarang saat itu:
“Kehidupan kesenian di kota Semarang berbanding terbalik dengan kehidupan politiknya”. Seorang seniman apabila ingin eksis berkesenian harus mapan dulu secara finansial, hingga bisa mendukung kegiatannya. Sementara seorang politikus berkecimpung di dunianya untuk mendapatkan sebuah kemapanan. Sangat ironis sekali sementara para politikus bergelimang uang, kehidupan seniman jauh dari kemapanan.
Kritik paling besar tentu saja diarahkan pada pemerintah kota selaku pemangku kebijakan. Para seniman belum merasakan andil dari adanya kebijakan pemerintah terkait kebudayaan, padahal di Semarang saat itu ada Sasi Ageng Semarang, sebuah program rutin pentas teater bulanan yang diinisiasi Taman Budaya Raden Saleh, Dewan Kesenian Semarang, dan kelompok teater sekolah dan kampus.
Edisi “Sekarat” selain mengkritik perihal iklim kebudayaan Semarang juga sedikit memberikan solusi. Mengutip dari Darmanto Jatman bahwa anak muda Semarang harus mempunyai strategi budaya yang berbeda dengan kota-kota lain di Indonesia yang lebih mapan iklim budayanya. Strategi tersebut adalah strategi “kantong budaya”, di mana diharapkan muncul karya yang bernas dan tidak mengekor lagi pada generasi tua[1].
Edisi kedua tahun 2004 mengambil tajuk “Panggonan” yang berarti tempat atau ruang. Tempat atau ruang di sini yang dimaksud adalah tempat dan ruang seni. Tim Redaksi Tanda Batja membuat satu artikel dengan judul “Di Mana Ruangku? Di Situ Tempatnya”. Hal tersebut tidak lepas dari ruang seni di kota besar seperti Semarang yang lumayan tertinggal dibanding tetangganya. Di Semarang pada tahun 2004 hanya ada satu gedung pertunjukan yang paling representatif untuk melakukan sebuah pertunjukan teater, yaitu di Auditorium RRI Semarang. Di Taman Budaya Raden Saleh sendiri, yang notabene merupakan sebuah art space, tidak mempunyai gedung pertunjukan yang representatif, bahkan hingga hari ini.
Edisi “Panggonan” ini juga menyoroti sebuah proyek pemerintah yang secara gegabah membangun Pusat Kesenian Jawa Tengah (PKJT) di daerah pesisir yang secara rutin mendapatkan banjir rob serta fasilitas yang ala kadarnya. Sayang lampunya belum ada, bahkan ada kabar listrik di area PKJT pernah dicabut. Entah mengapa. Seorang seniman Semarang mengaku, pernah melihat pameran lukisan sambil menyalakan korek untuk melihat lukisannya satu persatu. “Tapi asyik juga, lho! Suatu metode alternatif untuk melihat lukisan!”, ucapnya.
Selain PKJT dan Taman Budaya Raden Saleh, edisi “Panggonan” membuat daftar mana saja tempat atau ruang yang difungsikan sebagai tempat pertunjukan, di antaranya adalah Laboratorium Seni dan Budaya Lengkongcilik, Auditorium IAIN Walisongo, Gedung Notariat Fakultas Hukum Undip, Museum Ronggowarsito, Ruang E 103 Fakultas Sastra Undip, PKM Undip Pleburan, dan Auditorium IKIP PGRI Semarang.
Pada edisi terakhir tahun 2004, Tanda Batja menawarkan tema “Warung”. Terlihat sepele memang tema tersebut. Tetapi adakah hubungan antara warung yang merupakan tempat aktivitas jual beli dengan Semarang yang sangat khas sebagai kota niaga dan jasa? Terlepas dari hal tersebut, warung yang disajikan Tanda Batja pada edisi ini adalah warung tempat nongkrong para seniman Semarang pada era 2004. Mulai dari Kucingan Pak Syawal (depan Fakultas Sastra Undip), Warung Paiman dan Lan (Jalan Kelud, depan kampus Unnes lama), dan Warung Mbak Maret (kompleks TBRS). Tidak ada alasan khusus kenapa tiga warung tersebut yang diliput. Alasan paling mudah adalah mungkin di ketiga warung tersebut Tim Redaksi Tanda Batja selalu nongkrong dan bertemu.
Semua Layak Dicatat, Semua Dapat Tempat (2005)
Tahun 2005 adalah tahun terakhir Tanda Batja mengeluarkan edisinya. Hanya ada dua edisi di tahun ini. Tidak seperti tahun 2004 yang memakai tema dalam setiap edisinya, edisi tahun 2005 kembali ke format penomoran. Edisi pertama di tahun 2005 mengambil tajuk utama “Pelajar dan Teater”. Dibuka dengan tulisan karya Widyo “Babahe” Leksono yang membagi pengalamannya sebagai seorang guru teater sekolah. Di mana bermain teater bagi anak SD tentu saja beda dengan anak kampus. Pengalaman bertahun-tahun melatih anak SD bermain teater membuat Babahe menemukan formula yang tepat untuk mereka.
Selain itu ada pula liputan panjang perihal “Festival Drama Pelajar 2005 – Tingkat Jawa Tengah/DIY” yang diselenggarakan oleh Teater Gema IKIP PGRI Semarang. Teater Gema adalah kelompok teater kampus yang sangat konsisten mengembangkan teater pelajar lewat festival teater[3].
Tanda Batja mencatat mulai dari antusiasme dan dinamika festival drama hingga perihal teknis perlombaan yang coba disempurnakan daripada penyelenggaraan sebelumnya.
Edisi kedua tahun 2005 adalah terbitan terakhir dari Tanda Batja. Edisi ini tidak mengambil tema secara khusus, tetapi dalam editorialnya yang berjudul “Instantly” terbaca ketegangan dan kegelisahan para awak redaksi pada suatu perubahan yang sangat besar. “The world is change to new area”. Yah, manusia [saya dan anda] sekarang menjadi makhluk yang instan. Kita tidak lagi terbiasa dengan proses yang memakan waktu yang lama. Kita sudah tidak bisa lagi melakukan proses yang kita katakan bertele-tele. Ada nada capek, menyerah, atau mutung dalam editorial terakhir ini. Edisi ini menjadi semacam nubuat bagi akhir dari Tanda Batja. Bisa juga dibaca bahwa para awak Tanda Batja sudah mulai berproses ke wilayah selanjutnya. Lulus kuliah, mencari kerja, dan mencari kerja di wilayah seni lain yang lebih menjamin pendapatan sehari-hari.
Kehadiran Tanda Batja selama tiga tahun di Semarang menjadi sangat penting karena telah menjadi pencatat kesenian yang gigih dan mandiri. Dengan total tujuh terbitan selama tiga tahun tersebut mungkin terasa biasa-biasa saja kalau di kota selain Semarang. Namun dengan semangat mandiri Tanda Batja sampai sekarang adalah sebuah zine atau terbitan alternatif seni pertunjukan yang mampu merekam dinamika seni Kota Semarang.
Tanda Batja adalah sebuah anak zaman. Sesuatu yang mungkin sulit dilakukan lagi pada masa sekarang. Era 2003-2005 di mana penetrasi internet belum terlalu merasuk seperti sekarang, pola zine atau terbitan alternatif mempunyai posisi yang penting untuk sebuah media literasi arus pinggir. Tulisan-tulisan yang ada di Tanda Batja sangat sulit ditemukan di media arus utama saat itu. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, terbitan alternatif memberikan catatan dan dokumentasi yang penting sekaligus sumbangsih yang tidak main-main bagi perkembangan seni pertunjukan di Kota Semarang.
Khothibul Umam [seniman akhir pekan]
Tulisan ini sebelumnya dipresentasikan di Konferensi Pertunjukan dan Teater Indonesia 2020.
Daftar Pustaka
- Duncombe, Stephen. 1997. Notes from Underground: Zines and the Politics of Alternative Culture. Bloomington: Microcosm Publishing.
- Escarpit, Robert. 2005. Sosiologi Sastra. Jakarta: Pustaka Yayasan Obor Indonesia.
- Manurung, Gregorius. “Melongok Pameran Zine Pertama di Indonesia pada 2009, Semarang Jadi Tuan Rumah”. https://www.inibaru.id/indimania/melongok-pameran-zine-pertama-di-indonesia-pada-2009-semarang-jadi-tuan-rumah, diakses 03 Agustus 2020
Wawancara
Adhitia Armitrianto, Semarang, 5 Juni 2020.
[1] Tim Redaksi Tanda Batja, “Sekarat”, Edisi Sekarat, tahun II/2004.
[2] Meminjam dari puisi Chairil Anwar, “Catetan Th. 1946” dengan sedikit perubahan, dalam kumpulan puisi Aku Ini Binatang Jalang (2000, cet. ke-VIII), Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
[3] Setahu penulis belum ada catatan atau tulisan khusus perihal kiprah Teater Gema dalam menyelenggarakan Festival Drama Pelajar. Padahal mereka secara konsisten menyelenggarakan festival drama untuk pelajar kurang lebih telah 20 tahun.
[1] Duncombe, Stephen. Notes from Underground: Zines and the Politics of Alternative Culture. Microcosm Publishing: Bloomington, 1997, hlm. 7.
[2] Manurung, Gregorius.“Melongok Pameran Zine Pertama di Indonesia pada 2009, Semarang Jadi Tuan Rumah”. https://www.inibaru.id/indimania/melongok-pameran-zine-pertama-di-indonesia-pada-2009-semarang-jadi-tuan-rumah, diakses 03 Agustus 2020.
[3] Adhitia Armitrianto, Semarang, 5 Juni 2020.