Berbicara seni rupa, di kota kecil seperti Pati, tentu tidak terlalu meletup-letup sebagaimana di kota arus utama. Meskipun dikotomi itu nyaris sudah diabaikan oleh banyak kalangan. Mungkin, kegairahan seni rupa di daerah tidak se-semarak seni tradisi yang masih tetap punya tempat tersendiri. Dikarenakan ada ikatan emosional dengan masyarakatnya.
Dinamika ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi pelaku-pelaku dan praktisi seni rupa di daerah. Setelah era punahnya sanggar-sanggar menggambar. Nyaris tradisi “transfer” kerja komunitas juga ikut menyurut. Tak ada lagi bertukar ilmu terkait seni rupa sampai pada urusan: bagaimana membuat sebuah penyelenggaraan event pameran? Di Pati, banyak yang bersekolah seni, namun jarang yang berpikir untuk membangun “daya hidup” daerah. Ini tentu menjadi persoalan juga bagi pertumbuhan seni rupa di daerah.
Perkembangan Terkini
Sekarang ini, internet jadi guru banyak orang. Dari internet kita bisa belajar tentang apa pun. Termasuk soal dunia menggambar. Kenyataannya kini, banyak orang yang sangat cepat belajar dan bisa menguasai teknik menggambar lewat internet, dan pencapaian itu mereka anggap sudah cukup.
Sebagai contoh soal bagaimana tutorial menggambar potret. Dari keahlian yang diperoleh melalui gambar itu, mereka sudah bisa dapat order dan sekaligus ongkosnya. Kemudian selesai sampai di situ. Jadi, problem di daerah itu, juga menyangkut ekonomi. Bagaimana bisa mengais rejeki dari pekerjaan menggambar? Bahwa masih ada yang “kukuh” memperjuangkan kesenian lewat bahasa gambar, itu hanya berlaku bagi praktisi rupa yang “ngeyel”. Dan jumlahnya tentu tidaklah banyak.
Padahal jika diamati lebih cermat, potensi drawing dari wilayah Pati sangatlah potensial, baik itu secara teknis, ide, gagasan dan aliran. Ada yang mengejar realis sampai hyper-realistic. Ada yang ekspresif, dan yang dominan adalah potretis. Sebagian lagi banyak yang mengarah ke surealistik. Tentu ini potensi besar. Perlu kesabaran untuk bisa menjaring. Agar jalinan kebersamaan itu tumbuh bersama di setiap insan seni rupa Pati. Dari sekian potensi itu, kini bertemu dan menjalin komunikasi dalam wadah baru bernama Rupati.
Rupati
Rupati, komunitas generasi muda perupa Pati yang muncul setelah sekian lama vakum dari kehidupan berkelompok. Dulunya pernah ada Hompimpah, sebuah kerja kolektif bersama seni rupa, menyoal tentang permainan masa kecil yang mulai hilang di dunia anak-anak. Hompimpah ditafsir dan dimaknai ulang secara kekinian. Antusiasme masyarakat sangat responsif, oleh karena kerinduan masa lalu yang telah lewat.
Kini, Rupati juga mempunyai semangat menghubungkan serta mendekatkan seni rupa ke masyarakatnya. Agar tidak terlalu berjarak karena kesibukan tuntutan hidup dunia modern, yang nyaris tanpa menyisakan jeda. Kelompok semacam Rupati ini bisa bertahan dan terus aktif tentu tergantung motor penggeraknya. Soalnya, grup serupa ini juga pernah ada sebelumnya dengan warna berbeda. Kendati pun punya semangat yang hampir sama. Timbul tenggelamnya kelompok seni rupa ini tentu sudah berlangsung dari generasi sebelumnya, dan itu biasa terjadi dimana pun.
Jadi, kendati pun timbul dan tenggelam di setiap generasi. Paling tidak, seni rupa di Pati masih “berdenyut”. Ada harapan dari mereka ini nanti tidak terputus dan terhenti di tengah jalan. Sehingga napas kehidupan seni rupa Pati tidak benar-benar mati.
Epilog
Seni rupa Pati masih ada geliatnya secara personal. Dan budaya menggambar masih tetap ada. Namun perlu dikelola bersama untuk semangat kebersamaan. Agar dinamika dan napas seni rupa Pati tetap hidup.
Melalui Forum Drawing Indonesia, mencoba menjembatani kebekuan sebuah gerakan komunitas, yang disibukkan oleh urusan personal masing-masing. Mereka yang masih bersemangat “menumbuhkan gairah” kerja bersama di daerahnya. Akan menyamakan visi dan misinya. Melalui kelompok seni rupa, dengan semangat “Memasyarakatkan Gambar”. Merancang gagasan menggambar bersama anak-anak, warga sekitar lokasi, dan juga memamerkannya.
Pertemuan langsung dan berkegiatan bersama warga ini, pasti akan memberikan sumbangsih “memori kolektif” yang positif, di kemudian hari. Kerja ini akan disepakati, bersama Kelompok Songolikur, untuk saling sinergi. Mengisi dua venue di Desa Bumiharjo, Kecamatan Winong, Pati.
Kegiatan ruang pamer pertama akan dibuka kepala desa setempat. Sekaligus ajang komunikasi seni, bersama warga desa di Balai Desa. Kemudian lokasi kedua, adalah rumah tinggal warga dari salah satu perupa, Susilo Tomo, yang tentu dipilih karena sangat “ikonik”, dengan suasana tinggalan berbentuk rumah Joglo gaya Pati.
Dua tempat ini akan menjadi menarik, karena setiap hari nanti ada acara terkait dunia menggambar. Seperti menggambar di batang rokok dengan “lelet” ampas kopi, menggambar torehan di buah kelapa, body painting heina, mural dinding desa, drawing on the spot dan seni pendukung lainnya seperti, rebana anak dan barongan.
Semua itu adalah gagasan dan bentuk upaya, “menghidupkan seni di kota sendiri”. Kerja kolektif membaur dengan warga sekitar, bermain dan berkarya bersama. Berusaha membuang kesan bahwa “seni” itu sulit. Dan tentu menekankan jika seni itu menggembirakan. Karena pada dasarnya semua orang bisa menggambar.
Pati, 3 April 2022
Putut Pasopati
(Pekerja seni Pati)