Pemilihan Umum (Pemilu) baik di tingkat daerah (bupati/gubernur) maupun ke jenjang nasional (presiden), idealnya menjadi momentum yang dinantikan oleh rakyat. Rakyat ingin melihat calon pemimpinnya itu dengan kualitas program masing-masing. Pada satu sisi sebagian kontestan beradu program. Akan tetapi, momentum itu disalahgunakan oleh sebagian orang yang tidak bertanggungjawab dengan menyebar informasi tidak benar (hoax). Telah diketahui, hoax merupakan informasi bohong atau palsu yang dibuat dengan motif dan tujuan tertentu.
Berdasarkan laman Kominfo, menjelang Pilpres dan Pemilu, tren informasi hoax cenderung meningkat. Informasi hoax begitu merugikan, tidak hanya harta tetapi konflik antarsesama yang bisa berujung nyawa. Oleh sebab itu, perlu digencarkan edukasi literasi dan informasi khususnya seputar Pemilu. Sasaran yang perlu mendapatkan edukasi ini adalah mahasiswa. Mahasiswa selain menjadi bagian pemilih aktif dan mudah untuk mendapat dan mengaskses berbagai informasi yang bertebaran di internet atau media sosial. Mereka diharapkan mampu meng-counter informasi hoax itu melalui informasi-informasi yang benar dan mengedukasi.
Kami telah melakukan edukasi literasi dan informasi seputar hoax terkait Pemilu kepada mahasiswa di Kota Semarang, utamanya Universitas Diponegoro (Undip). Sebagian besar mereka pernah menerima hoax terkait pemilu. Informasi dan hoax seputar pemilu yang mereka terima itu berupa fitnah, memojokkan lawan politik (provokatif), bahkan SARA. Sebagian dari mereka merasa permisif dengan informasi hoax itu, sehingga memilih menerima secara pasif. Sebagian lain, justru resah dan perlu strategi untuk meminimalisasi informasi yang tingkat kebenarannya itu masih diragukan.
Dari hasil hasil diskusi, faktor muncul dan suburnya hoax itu selain dari motif pihak penyebar hoax, setidaknya ada dua. Pertama, hoax berkembang subur karena kemajuan teknologi informasi. Media sosial (Tiktok, Facebook, Instagram, Youtube) dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab untuk menebar hoax dan provokatif. Kedua, karena minimnya literasi informasi, media bahkan politik oleh masyarakat. Sebagian masyarakat cenderung mudah menerima dan relatif tidak kritis terhadap informasi yang diterima, khususnya terkait politik melalui media sosial tersebut. Padahal upaya pemerintah untuk mencegah hoax melalui Kominfo, sudah digencarkan dan ancaman perilaku penebar hoax melalui UU ITE pun sudah ada.
Para mahasiswa peserta edukasi literasi bahkan berharap mereka yang berkontestan dalam persaingan kekusaan (Pemilu), termasuk pihak-pihak yang mendukung atau terkait, lebih mengedepankan kesantunan untuk mengambil hati (dipilih) rakyat. Sebagai ilustrasi ada dua Bupati bernama Fajrul dan Falah dari Kota X dan Y. Keduanya sedang bertarung bertarung memperebutkan kursi gunernur di Provinsi Z. Ada dua cara berkampanye dari kandidat atau tim suksesnya. Pertama (A) Fajrul berorasi di depan pendukungnya “Apa prestasinya si Falah kok berani mau menyalonkan sebagai gubernur di Provinsi Z, dia tidak layak”, lalu yang kedua (B) Falah berujar “Fajrul itu layak mencalonkan diri sebagai gubernur, akan tetapi berdasarkan track record saya menjadi Bupati di Kota X, maka saya bisa berbuat lebih dan memajukan Provinsi Z”. Lalu mana model kampanye yang dipilih dengan dua pernyataan berbeda itu? Para mahasiswa memilih yang kedua (B). Ya, mereka lebih memilih yang kedua (B). Artinya kesantunan dan penghargaan terhadap lawan politik menjadi penting, bukan malah provokatif bahkan cenderung menjelek-jelekkan. Melalui edukasi informasi hoax ini, harapannya masyarakat (mahasiswa) tidak disuguhkan lagi berita yang terindikasi hoax (palsu). Jika terlalu banyak hoax yang diterima, maka masyarakat menjadi hoek (baca: mau muntah) terhadap informasi yang diterima.
Fajrul Falah, S.Hum., M.Hum. Dosen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Diponegoro. Konsen di bidang Sastra dan Bahasa Politik.